Sunday, November 29, 2015

Tafsir Sabar dalam Ali Imran 186



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sabar termasuk salah satu tiang iman dan salah satu komponen budi pekerti yang harus dipunyai setiap muslim.[1] Di antara sekian banyak akhlak mulia, sabar merupakan sesuatu yang banyak mendapat perhatian di dalam al-Qur'an. Hal ini dibuktikan dengan diulangnya kata yang berhubungan dengan sabar sebanyak 103 kali yang tersebar di 93 ayat dan 45 surat.[2] Ini menunjukkan betapa pentingnya kesabaran dalam kehidupan sehingga sabar sering diulang-ulang dalam al-Qur’an.
Pada dasarnya sabar dibagi dalam tiga bentuk, yaitu: (1) Sabar dalam menghadapi cobaan, (2)  Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan (3) Sabar dalam menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah.[3] Dalam al-Qur’an Allah telah banyak memberikan perintah untuk bersabar. Dewasa ini kesabaran umum dipandang sebagai menahan diri dari cobaan berupa musibah yang ditimpakan. Setiap cobaan yang diberikan Allah merupakan bentuk cinta kasih Allah kepada hamba-Nya. Setiap cobaan yang datang kepada kita membuka pintu pahala bagi kita. Dan dengan sabar menghadapi setiap cobaan yang datang maka kita akan dengan mudah memperoleh pahala yang telah dijanjikan Allah. Namun bila kita tidak bisa sabar maka yang kita peroleh hanyalah cobaan tersebut tanpa ada pahala yang menyertainya. Hendaklah kita selalu ingat bahwa Allah Maha Mengetahui akan kemampuan setiap makhluk-Nya. Untuk itu Allah tidak akan memberi cobaan kepada seseorang di luar kemampuan orang tersebut.
Pada makalah ini akan dibahas bagaimana sabar dalam al-Qur’an beserta penafsirannya dan juga balasan bagi orang yang sabar. Harapannya, semoga dengan penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang sabar dan menambah kesabaran bagi pembaca yang masih dilanda cobaan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah hakikat sabar itu?
2.      Bagaimanakah hikmah dan balasan untuk orang yang bersabar?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ayat Sabar
Firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 186:

Artinya:
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”[4]
B.     Mufradat
الْكِتَابَ           =   Bacaan; kitab. Merupakan mashdar dari كتب  (kataba) yang berarti membaca.
أَذًى كَثِيرًا       =­­  Sangat terluka.
عَزْمِ الأُمُورِ     =   Urusan yang patut diutamakan. Maksudnya sesuatu yang harus didahulukan atau diraih dengan berlomba-lomba.[5]

C.     Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan berhubungan dengan kisah yang terjadi di pemukiman al-Hârits bin al-Khazraj (Madinah) sebelum perang Badar. Kaum Muslimin ketika itu sedang berkumpul dengan kaum musyrikin dan orang-orang Yahudi. Datanglah Rasulullah saw. ke tempat itu dan memberi salam. Di majlis tersebut, ada 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl, dia berkata, "Janganlah kalian mengotori kami!" Rasulullâh saw. pun mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam dan membacakan al-Qur’an kepada mereka. 'Abdullâh bin Ubai menyahut, "Wahai lelaki! Apa yang engkau katakan bukanlah sesuatu yang bagus. Jika itu adalah sesuatu yang haq, maka janganlah kamu mengganggu kami dengan perkataan itu! Kembalilah ke hewan tungganganmu! Barang siapa mendatangimu, maka ceritakanlah perkataan itu!"
Perkataan itu sangat menyakitkan hati kaum Muslimin, sehingga terjadilah pertengkaran di majlis itu antara mereka dengan orang-orang kafir. Akhirnya, Rasulullah saw. menenangkan mereka. Setelah mereka tenang, Rasulullah saw. pun kembali ke tunggangannya dan pergi. Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat ini yang berisi perintah untuk bersabar atas gangguan-gangguan orang-orang kafir.[6]
D.     Hubungan dengan Ayat Sebelumnya
Ayat sebelum ayat 186 yakni ayat 185. Ayat ini juga berhubungan dengan ayat 186 karena bersifat memberikan hiburan kepada Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi berbagai tantangan  dari orang-orang kafir dalam perjuangan dakwahnya. Selain itu ayat ini juga sebagai pengingat umat Muslim tentang hidup yang sebenarnya. Bahwa hidup itu hanyalah sementara. 




E.     Penjelasan
Ayat di atas merupakan ayat yang diturunkan Allah sebagai penghibur atas kejadian yang baru terjadi antara kaum Muslimin dan orang Yahudi dan juga orang kafir yang menerangkan tentang keutamaan sabar. Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Sabar adalah menurut bahasa berasal dari bahasa arab صبر yang berarti tidak tergesa-gesa, tidak membalas, atau menunggu dengan tenang.[7] Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sabar berarti tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu).[8] Secara umum sabar ialah kemampuan atau daya tahan manusia menguasai sifat yang destruktif yang terdapat dalam tubuh setiap orang.[9] Menurut Toto Tasmara, sabar berarti memiliki ketabahan dan daya tahan yang sangat kuat untuk menerima beban, ujian atau tantangan tanpa sedikitpun mengubah harapan untuk menuai hasil yang ditanamkannya.[10] Sementara menurut Basri Iba Asghary, Tidak disebut sabar orang yang tahan menghadapi penderitaan dan ujian tanpa melakukan usaha apa-apa atau menyerah begitu saja pada nasib. Akan tetapi yang dimaksudkan sabar adalah sikap berikhtiar terus sampai berhasilnya cita-cita dengan ketetapan hati yang teguh tak menghiraukan pekerjaan itu berat atau ringan.[11] Menurut Achmad Mubarok, sabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, maka nama sabar berbeda-beda tergantung obyeknya. Yaitu:[12]
1.      Ketabahan menghadapi musibah, disebut sabar, kebalikannya adalah gelisah (jaza') dan keluh kesah (hala').
2.      Kesabaran menghadapi godaan hidup nikmat disebut, mampu menahan diri (dlobith an nafs), kebalikannya adalah tidak tahanan (bathar).
3.      Kesabaran dalam peperangan disebut pemberani, kebalikannya disebut pengecut
4.      Kesabaran dalam menahan marah disebut santun (hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur).
5.      Kesabaran dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut lapang dada.
6.      Kesabaran dalam mendengar gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia (katum).
7.      Kesabaran terhadap kemewahan disebut zuhud, kebalikannya disebut serakah, (al hirsh).
8.    Kesabaran dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana'ah), kebalikannya disebut tamak, rakus (syarahun).
Demikian pengertian dari sabar dari para ahli. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sabar adalah perilaku atau sikap menahan diri dari hawa nafsu untuk melakukan kerusakan baik pada diri sendiri maupun kerusakan lingkungan sekitar. Selain itu sabar juga berarti menahan diri dari menyerah dalam melakukan suatu usaha untuk meraih cita-cita.
Adapun penafsiran ayat di atas menurut tafsir Jalalain, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia sungguh-sungguh akan diuji dengan harta dan kewajiban yang harus dipenuhi dengan ujian berupa malapetaka dari orang-orang Yahudi dan Nasrani atau dari kalangan orang yang mengganggu berupa makian dan tuduhan serta godaan. Kita harus bersabar atas tantangan itu, dan bertakwa kepada Allah.[13] Dalam kehidupan, untuk mencapai kesuksesan tentu akan terhadang dengan berbagai ujian dan cobaan. Lebih-lebih dalam mencapai kesuksesan di akhirat. Tentu akan lebih berat ujian yang akan di hadapi. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw.:
حُفَّت الجنَّة بِالمَكَارِهِ، وحُفَّت النار بالشَّهَوَات
“Syurga ditempuh dengan serba kesulitan dan neraka ditempuh dengan serba syahwat.”
Mengenai cobaan, Hamka berpendapat dalam tafsir al Azhar:[14]
Menegakkan kalimat ilahi, menempuh jalan Allah akan membawa berbagai percobaan. Harta benda akan diminta pengurbanan supaya dikeluarkan. Bakhil adalah batu-penarung (penghalang) menuju cita-cita. Perhatikan dengan seksama. Pada ayat 180 diterangkan bahaya bakhil. Yaitu harta yang telah dibakhilkan itu akan disandangkan di leher kelak dan dijadikan tontonan pada hari kiamat. Kemudian diayat 185 diterangkan, bahwa tiap-tiap nyawa pasti akan merasakan mati. Dan dikatakan, bahwa dunia ini hanya tipuan. Sekarang datanglah ayat 186, bahwasanya pastilah kamu akan diberi cobaan, kemanakah hatimu condong, kepada dunia penipu itu, namun hartamu akan pisah juga dari dirimu dan mati pasti datang. Di ayat ini Tuhan menyatakan pasti, sungguh-sungguh kamu akan diberi percobaan. Sesudah perang Badar yang menggembirakan telah datang Uhud yang mengecewakan. Kemudian akan mengikuti lagi yang lain, sampai harta itu meninggalkan kamu atau kamu meninggalkan harta dan sampai nyawa itu bercerai dari badan.
Hamka mencoba menjelaskan bahwa Allah memberikan penjelasan, peringatan, dan janji akan diberikannya cobaan. Ibnu Katsir berpendapat cobaan adalah suatu keharusan bagi seorang Mukmin. Seorang Mukmin akan diuji  menurut kadar pemahaman agamanya, jika ia kuat dalam agamanya, maka akan diberikan ujian yang lebih berat.[15] Ujian dalam ayat ini secara khusus difokuskan pada cobaan dari urusan harta dan urusan diri sendiri yang berupa kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana pendapat dalam tafsir Jalalain dan tafsir al-Azhar.
Dalam ayat di atas dijelaskan pula tentang orang yang selalu mengganggu yang mana sesuai asbabun nuzul yang telah disampaikan merupakan orang Yahudi dan orang kafir di Madinah yang mencoba menyakiti hati Nabi saw. sehingga terjadi pertikaian di antara mereka dan umat Muslim pada masa itu. Mengenai gangguan yang dijelaskan dalam ayat ini menurut Hamka disamping pengorbanan dengan harta dan nyawa, telinga akan selalu diganggu oleh ejekan, penghinaan, gangguan, dan celaan.[16] Menurut Ibnu Katsir, Allah swt. berfirman ditujukan kepada kalangan orang beriman ketika tiba di Madinah, yaitu sebelum terjadinya perang Badar, sebagai hiburan buat mereka atas gangguan dari Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik. Selain itu Allah juga memerintahkan kepada mereka bersabar dan memberikan maaf sehingga Allah menghilangkan kedukacitaan mereka.[17] Hal ini beralasan karena pemberian maaf hakikatnya penghapusan kebencian dalam hati akan kesalahan dari orang lain baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja sehingga butuh kesabaran dalam menahan kebencian yang merupakan realisasi dari kemarahan ini.
Dalam kalimat selanjutnya dalam ayat di atas (Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan), menurut tafsir at-Tabari, kalimat ini bermakna dalam mengerjakan ketaatan atau perintah dari Allah, sabar dan takwa harus dijadikan utama.[18] Menurut M. Quraish Shihab dalam Anisa Kusuma Wahdati, kesabaran dan takwa memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagaimana diisyaratkan oleh ayat ini. Sabar dan takwa termasuk urusan yang patut ditekadkan untuk dilaksanakan, tidak ditunda, dan tidak pula disangsikan.[19] Kesabaran disandingkan dengan takwa karena menurut penulis sabar tanpa takwa bisa menjadikan seseorang masuk dalam golongan fatalisme, yaitu sikap pasrah total akan keadaan yang ada tanpa berusaha untuk merubah keadaan.
Berdasarkan pemaparan beberapa penafsir  yang telah dikutip di atas, penulis mencoba menafsirkan bahwa ayat ini sebenarnya merupakan janji Allah yang akan memberikan cobaan bagi hambaNya. Baik cobaan dalam urusan harta, maupun cobaan untuk diri manusia seperti halnya sakit, atau musibah lainnya. Ayat ini juga diturunkan sebagai penghibur atas beratnya ujian yang dihadapi oleh Rasulullah saw. selain itu, ayat ini juga menerangkan tentang sikap kaum Yahudi dan Nasrani yang akan terus mengganggu umat Islam dengan gangguan yang menyakitkan. Akan tetapi, Allah memberikan solusi, yaitu dengan bersabar dan bertakwa karena keduanya merupakan hal yang harus diutamakan dalam menghadapi gangguan tersebut.
Dengan adanya gangguan dalam usaha kita dalam menggapai cita-cita, kita telah diajarkan untuk menghadapinya. Sebagaimana yang telah dituliskan dalam QS. al Muzammil ayat 10:

Artinya:
Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.[20]
Berdasarkan ayat tersebut, Allah telah memerintahkan untuk tidak memperdulikan gangguan dalam mencapai tujuan hidup. Akan tetapi tentu dengan cara-cara yang baik agar tidak menimbulkan konflik yang bisa menciptakan kekeruhan dalam pergaulan.
Sebagai perintah dari Allah, tentu terdapat rahasia-rahasia hikmah dibalik sikap sabar. Adapun hikmah dari sikap sabar dijelaskan pula dalam QS. Al Ahzab ayat 35:


Artinya:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.[21]

Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang Mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.[22] 
Berdasarkan ayat tersebut jelaslah salah satu dari hikmah dari sabar adalah mendapat ampunan dan pahala yang besar.
Adapun sikap sabar memiliki tingkatan-tingkatan sebagaimana dijelaskan oleh Achmad Mubarok berikut ini. Tingkatan pertama, orang yang dapat menekan habis dorongan hawa nafsu hingga tidak ada perlawanan sedikitpun, dan orang itu bersabar secara konstan. Mereka adalah orang yang sudah mencapai tingkat shiddiqin.[23] Tingkatan shiddiqin adalah orang yang selalu memegang teguh kebenaran dan kejujuran.[24] Tingkatan yang selanjutnya yaitu orang yang tunduk total kepada dorongan hawa nafsunya sehingga motivasi agama sama sekali tidak dapat muncul. Mereka termasuk kategori orang-orang yang lalai (alghofilun). Dan tingkatan yang terakhir adalah orang yang senantiasa dalam konflik antara dorongan hawa nafsu dengan dorongan keberagamaan.[25] Semakin tinggi tingkat kesabaran, semakin berat kesabaran yang dilakukan oleh orang yang telah disebut di atas.
Salah satu hadis Rasulullah saw. tentang orang yang sabar menjelaskan bahwa orang yang sabar adalah orang yang kuat. Hadis tersebut tertulis sebagai berikut.
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصَّرْعَةِ وَإِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang gagah perkasa tidak diukur dengan kemenangan dalam pertarungan, tetapi kekuatan yang sebenarnya adalah orang yang dapat mengawal dirinya ketika marah” (HR. Bukhari, Muslim)
Berdasarkan hadis tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa sabar bukanlah suatu perkara yang mudah. Sehingga dikiaskan oleh Rasulullah saw. seakan-akan menang dalam pertempuran lebih mudah daripada memenangkan pertarungan dengan diri sendiri dengan bersabar.
Demikian telah dijelaskan bagaimana penafsiran tentang sabar dalam al-Qur’an semoga bisa menambah pengetahuan dan pemahaman sehingga bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sabar adalah sikap menahan diri dari hawa nafsu untuk melakukan kerusakan baik pada diri sendiri maupun kerusakan lingkungan sekitar dengan didasari oleh ketakwaan kepada Allah. Walaupun hal ini sulit untuk dilakukan dengan gangguan dari masalah harta dan keinginan-keinginan dari hawa nafsu. Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’an surat Ali Imran ayat 186.
Berdasarkan pembahasan pula dapat diketahui ternyata sabar memiliki berbagai hikmah yang terkandung dibalik anjurannya. Dengan sabar melakukan usaha dan ketaatan, seseorang lebih dekat pada hasil yang diharapkan dibandingkan hanya dengan bersabar menunggu kesempatan datang pada diri kita. Harapannya dengan mengetahui hakikat sabar ini, selayaknya kita selaku umat Islam tidak putus asa dalam meraih cita-cita akan tetapi senantiasa sabar dan teguh dalam meraih cita-cita tersebut. Sehingga dengan kesabaran itu kebahagiaan di dunia maupun di akhirat dapat diraih.



Daftar Pustaka
Sumber Buku
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq. 2007. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Asghary, Basri Iba. 1994. Solusi Al-Qur’an tentang Problematika Sosial, Politik dan Budaya. Jakarta: Rineka Cipta.
Asmaran. 1994. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hamka. 2003. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura.
Kementerian Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Sinergi Pustaka.
Al Mahally, Jalaludin Muhammad Ibnu Ahmad dan Jalaludin asy-Suyuthi. 2003. Tafsir Jalalain Jilid 1. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Mubarok, Achmad. 2001. Psikologi Qu’ani. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nur, Junaidah. 2004. Konsep Al-Qur’an Tentang Sabar: Aplikasinya dalam Mendidik Anak Agresif. Semarang: IAIN Walisongo.
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta: Gema Insani Press.
Ath-Thabari, Imam Muhammad Abdul Ja’far. 2001. Tafsir ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Utbah, Hasan Ali dan M. Suqi Amin. 1982. Al-Mu’jam al-Wasit Juz I. Kairo : Darul Kutub.
Wahdati, Anisa Kusuma. 2012. Sikap dan Tantangan Dakwah: Kajian Tafsir Ali Imron Ayat 186. Semarang: UIN Walisongo.
Sumber Internet
Afriyadi, David. Sabar dalam Menghadapi Cobaan. http://airmenembusbatu.blogspot.co.id/2014_10_01_archive.html (diposting 5 Oktober 2014, diakses 22 Oktober 2015).
Gufron, Uup. Menapaki Jalan Kaum Saleh. http://uupgufron.blogspot.com/ (diposting 21 Juni 2008, diakses 23 Oktober 2015).
Hariyanto, Muhsin. Tafsir Qs Ali Imran, 3 186,  http://www.slideshare.net/MuhsinHariyanto/tafsir-qs-li-imrn-3-186 (diposting 12 Januari 2015, diakses 23 Oktober 2015).
Yai, Sa’id. Setiap Muslim akan Menghadapi Ujian dan Cobaan,  http://almanhaj.or.id/content/3450/slash/0/setiap-muslim-akan-menghadapi-ujian-dan-cobaan/ (diposting 13 Desember 2012, diakses 23 Oktober 2015).




[1] Basri Iba Asghary, Solusi Al-Qur’an tentang Problematika Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 257.
[2] Junaidah Nur, Konsep Al-Qur’an Tentang Sabar: Aplikasinya dalam Mendidik Anak Agresif, (Semarang: IAIN Walisongo, 2004), h. 15.
[3] David Afriyadi, Sabar dalam Menghadapi Cobaan. http://airmenembusbatu.blogspot.co.id/2014_10_01_archive.html (diposting 5 Oktober 2014, diakses 22 Oktober 2015).
[4] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sinergi Pustaka, 2012), h. 74
[5] Muhsin Hariyanto, Tafsir Qs Ali Imran, 3 186,  http://www.slideshare.net/MuhsinHariyanto/tafsir-qs-li-imrn-3-186 (diposting 12 Januari 2015, diakses 23 Oktober 2015).
[6] Sa’id Yai, Setiap Muslim akan Menghadapi Ujian dan Cobaan,  http://almanhaj.or.id/content/3450/slash/0/setiap-muslim-akan-menghadapi-ujian-dan-cobaan/ (diposting 13 Desember 2012, diakses 23 Oktober 2015)
[7] Hasan Ali Utbah dan M. Suqi Amin, Al-Mu’jam al-Wasit, Juz I, (Kairo : Darul Kutub, 1982), h. 505.
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 763.
[9] Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 228.
[10] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 30.
[11] Basri Iba Asghary, op.cit., h. 258.
[12] Achmad Mubarok, Psikologi Qu’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 73-74
[13] Jalaludin Muhammad Ibnu Ahmad al Mahally dan Jalaludin Asy-Suyuthi, Tafsir Jalalain jilid 1, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), h. 289.
[14] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, 2003), h. 328.
[15] Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu Katsir, (jilid 2; Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2007), h. 202.
[16] Hamka, op.cit., h. 329
[17] Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq, op.cit., h. 205.
[18] Imam Muhammad Abdul Ja’far ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (jilid IV; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 293.
[19] Anisa Kusuma Wahdati, Sikap dan Tantangan  Dakwah: Kajian Tafsir Ali Imron Ayat 186, (Semarang: UIN Walisongo, 2012), h. 10.
[20] Kementerian Agama RI, op.cit., h. 898.
[21] Kementerian Agama RI, op.cit., h. 520
[22] Ibid.
[23] Achmad Mubarok, op.cit., h. 74.
[24] Uup Gufron, Menapaki Jalan Kaum Saleh. http://uupgufron.blogspot.com/ (diposting 21 Juni 2008, diakses 23 Oktober 2015)
[25] Achmad Mubarok, op.cit., h. 75.

1 comment: