Sunday, August 24, 2014

Syarat - syarat Hadis Sahih


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hadits sebagai warisan Rasulullah saw., berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Fungsi sunnah atau hadits ini ditetapkan dalam kehidupan seseorang muslim diantaranya adalah untuk menetapkan dalam hukum, baik hukum ibadah, yang berkaitan dengan Allah swt., dan hukum-hukum muamalah yang berkaitan dengan manusia, serta hukum-hukum lain yang merupakan cabang dari ibadah dan muamalah. Dalam hal ini hadits yang difungsikan sebagai penetapan hukum menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber-hukum dan dalil hukum. Dengan kedudukannya sebagai sumber hukum tersebut tentunya harus berdasarkan bukti yang otentik atau biasa disebut shahih. Bagaimanakah hadist yang bisa disebut shahih itu? Pada makalah ini kami akan memaparkan syarat-syarat hadist yang shahih.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kami merumuskan masalah yang akan dibahas di makalah ini. Pertama, bagaimanakah pengertian hadist shahih itu? Kemudian yang kedua yaitu apa saja syarat-syarat hadist agar bisa digolongkan sebagai hadist shahih itu?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadist Shahih

Secara etimologi, kata shahih berarti yang sehat; yang selamat dari aib; yang benar; yang sah; dan yang sempurna. Dengan demikian hadist shahih berarti hadist yang sehat, hadist yang sah, atau hadist yang selamat.

Secara terminologi, hadist shahih didefinisikan secara varian oleh para ulama dari sisi kepadatan dan keringkasan.

Ibn al-Shalah mendefinisikan hadist shahih adalah hadist yang disandarkan kepada Nabi saw., yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dan tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

Ibnu Hajar mendefiniskan hadist shahih dengan mengatakan bahwa hadist shahih adalah hadist yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak berillat dan tidak syadz.

Al-Nawawi mendefinisikan hadist shahih dalam ungkapan “Hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh para periwayat yang adil lagi dhabit, tidak syudzuz dan tidak berillat”.[1]

B.     Syarat-syarat Hadist Shahih

Dari beberapa pengertian hadist shahih di atas, maka mayoritas ulama hadist sepakat menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi hadist shahih adalah; (1) sanad hadist tersebut harus bersambung; (2) seluruh periwayat bersifat adil; (3) seluruh periwayat pada sanad bersifat dhabith; (4) sanad hadis itu terhindar dari syadz; dan (5) sanad hadis itu terhindar dari ‘illat.[2]

1.            Sanad hadist tersebut harus bersambung

Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadist tersebut.

Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, diantaranya dengan meninjau dari usianya masing-masing rawi dan tempat tinggal mereka, apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau menyampaikannya ialah dengan cara sama’ (mendengar) atau munawalah (mencatat), atau dengan cara lain.[3]

2.            Seluruh rawi bersifat adil

Artinya perawi hadist tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadist, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalkan sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya.

3.            Seluruh rawi bersifat dhabit

Dhabit menurut bahasa ialah “yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan menurut istilah ialah “orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia kehendaki, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya ketika meriwayatkannya kembali.[4]

Dari definisi di atas bias dipahami bahwa seorang bisa disebut dhabit, apabila :

a.              Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didapatnya (diterimanya).

b.             Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.

c.              Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal itu dengan baik kapan saja ia menghendakinya sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[5]

Adapun cara penetapan kedhabitan seseorang rawi, dapat dinyatakan sebagai berikut :

a.            Kedhabitan rawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.

b.            Kedhabitan rawi dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitan.

c.            Apabila seorang periwayat sesekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Tetapi jika kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.

Dari segi kuatnya ingatan rawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :

a.            Dhabit Shadr (Dhabit Fuad)

Artinya terpelihara hadist yang diterimanya dalam hapalan, sejak ia menerima hadist tersebut sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.

b.            Dhabit Kitab

Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami dengan baik tulisan hadist yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar. [6]

4.            Sanad hadist terhindar dari syadz

Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal, dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan haditsnya.[7]

 

 

 

5.            Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat

Kata ‘illat menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini, maka yang disebut hadist ber’illat adalah hadist-hadist yang ada cacat atau penyakitnya.

Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari sifat samar ataupun cacat. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih.[8]


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, dhabit, tidak syadz dan tidak pula ber‘illat.

Syarat-syarat hadis sahahih ialah :

1.            Sanad hadis tersebut harus bersambung

2.            Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil

3.            Seluruh periwayat oleh sanad bersifat dhabith

4.            Sanad hadis itu terhindar dari syadz

5.            Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat


 

Daftar Pustaka

Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Diriwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka, 2000.

Yuslem, Nafis, Ulumul Hadits. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.

Mujiyo. Ulum al-Hadist 2. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.

Tari Novia, “Syarat-syarat Hadist Shahih”. Blog Info Campur-campur, http://infocampurcampurloh.blogspot.com/2013/04/makalah-ulumul-hadist-syarat-syarat.html (13 April 2014)

Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadist Cet I; Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011.



[1] Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadist, (Cet I; Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011) hal 20-21.
 
[2] Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadist, hal 22.
[3] Novia Tari, “Syarat-syarat Hadist Shahih”, blog Info Campur-campur, http://infocampurcampurloh.blogspot.com/2013/04/makalah-ulumul-hadist-syarat-syarat.html (13 April 2014)
[4] Mujiyo, Ulum al-Hadist 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997) hal 3.
[5] Nawis Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001) hal. 69.
[6] Nawis Yuslem, Ulumul Hadits, hal. 69.
[7] Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Diriwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2000) hal.140.
[8] Mujiyo, Ulum al-Hadist 2, hal. 4.

No comments:

Post a Comment