BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits sebagai warisan Rasulullah saw.,
berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia
ini. Fungsi sunnah atau hadits ini ditetapkan
dalam kehidupan seseorang muslim diantaranya adalah untuk menetapkan dalam
hukum, baik hukum
ibadah, yang berkaitan dengan Allah swt., dan hukum-hukum
muamalah yang berkaitan dengan manusia, serta hukum-hukum lain yang merupakan cabang dari
ibadah dan muamalah. Dalam hal ini hadits yang difungsikan sebagai
penetapan hukum menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an sebagai sumber-hukum
dan dalil hukum. Dengan kedudukannya sebagai sumber hukum tersebut
tentunya harus berdasarkan bukti yang otentik atau biasa disebut shahih.
Bagaimanakah hadist yang bisa disebut shahih itu? Pada makalah ini kami akan
memaparkan syarat-syarat hadist yang shahih.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, kami merumuskan masalah yang akan dibahas di makalah ini. Pertama, bagaimanakah
pengertian hadist shahih itu? Kemudian yang kedua yaitu apa saja
syarat-syarat hadist agar bisa digolongkan sebagai hadist shahih itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadist
Shahih
Secara etimologi, kata shahih
berarti yang sehat; yang selamat dari aib; yang benar; yang sah; dan yang
sempurna. Dengan demikian hadist shahih berarti hadist yang sehat, hadist yang
sah, atau hadist yang selamat.
Secara terminologi, hadist shahih
didefinisikan secara varian oleh para ulama dari sisi kepadatan dan
keringkasan.
Ibn al-Shalah mendefinisikan
hadist shahih adalah hadist yang disandarkan kepada Nabi saw., yang bersambung
sanad-nya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dan tidak
terdapat kejanggalan dan cacat.
Ibnu Hajar mendefiniskan hadist
shahih dengan mengatakan bahwa hadist shahih adalah hadist yang diriwayatkan
oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak
berillat dan tidak syadz.
Al-Nawawi mendefinisikan hadist
shahih dalam ungkapan “Hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh para
periwayat yang adil lagi dhabit, tidak syudzuz dan tidak berillat”.[1]
B.
Syarat-syarat Hadist
Shahih
Dari beberapa pengertian hadist
shahih di atas, maka mayoritas ulama hadist sepakat menyatakan bahwa syarat
yang harus dipenuhi hadist shahih adalah; (1) sanad hadist tersebut harus bersambung; (2) seluruh periwayat bersifat adil;
(3) seluruh periwayat pada sanad bersifat dhabith; (4)
sanad hadis itu terhindar dari
syadz; dan (5) sanad
hadis itu terhindar dari ‘illat.[2]
1.
Sanad hadist tersebut harus bersambung
Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima
hadis secara langsung dari perawi yang berbeda di atasnya, dari awal sanad
sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
sumber hadist tersebut.
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu
bersambung atau tidak, diantaranya dengan meninjau dari usianya masing-masing rawi dan tempat tinggal mereka, apakah usia keduanya memungkinkan
bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau menyampaikannya ialah
dengan cara sama’ (mendengar)
atau munawalah (mencatat), atau dengan cara lain.[3]
2.
Seluruh rawi bersifat adil
Artinya perawi hadist tersebut memiliki ketelitian dalam menerima
hadist, memahami
apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalkan sejak ia
menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya.
3.
Seluruh rawi bersifat dhabit
Dhabit menurut bahasa ialah “yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna”. Sedangkan menurut istilah ialah
“orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia kehendaki, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan
kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya ketika meriwayatkannya kembali.[4]
Dari definisi di atas bias dipahami bahwa
seorang bisa disebut dhabit, apabila :
a.
Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang
telah didapatnya (diterimanya).
b.
Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang
telah didengarnya.
c.
Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang
telah dihafal itu dengan baik kapan saja ia menghendakinya sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[5]
Adapun cara penetapan kedhabitan seseorang rawi, dapat dinyatakan sebagai berikut :
a.
Kedhabitan rawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.
Kedhabitan rawi dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya
dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal
kedhabitan.
c.
Apabila seorang periwayat
sesekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang
dhabit. Tetapi jika kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang
bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.
Dari segi kuatnya ingatan rawi,
para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :
a.
Dhabit Shadr (Dhabit Fuad)
Artinya terpelihara hadist yang
diterimanya dalam hapalan, sejak ia menerima hadist tersebut sampai
meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
b.
Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya
periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami dengan
baik tulisan hadist yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya
dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar. [6]
4.
Sanad hadist terhindar dari syadz
Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi
berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap
janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya,
baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka
lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri
disebut syadz atau janggal, dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap
periwayatan haditsnya.[7]
5.
Sanad hadis itu terhindar
dari ‘illat
Kata ‘illat menurut bahasa berarti cacat,
penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini, maka yang
disebut hadist ber’illat adalah hadist-hadist yang ada cacat atau penyakitnya.
Maksudnya ialah bahwa
hadits yang bersangkutan terbebas dari sifat samar ataupun cacat. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadist shahih adalah hadist yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, dhabit, tidak syadz
dan tidak pula ber‘illat.
Syarat-syarat
hadis sahahih ialah :
1.
Sanad
hadis tersebut harus bersambung
2.
Seluruh
periwayat dalam sanad bersifat adil
3.
Seluruh
periwayat oleh sanad bersifat dhabith
4.
Sanad
hadis itu terhindar dari syadz
5.
Sanad
hadis itu terhindar dari ‘illat
Daftar Pustaka
Soetari, Endang. Ilmu Hadits; Kajian Diriwayah dan Dirayah.
Bandung: Mimbar Pustaka, 2000.
Yuslem, Nafis, Ulumul Hadits.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Mujiyo. Ulum al-Hadist 2. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997.
Tari Novia, “Syarat-syarat Hadist Shahih”. Blog Info
Campur-campur, http://infocampurcampurloh.blogspot.com/2013/04/makalah-ulumul-hadist-syarat-syarat.html
(13 April 2014)
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu
Hadist Cet I; Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011.
[1]
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadist, (Cet I;
Surakarta: Zadahaniva Publishing, 2011) hal 20-21.
[2]
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadist, hal 22.
[3] Novia Tari, “Syarat-syarat
Hadist Shahih”, blog Info Campur-campur, http://infocampurcampurloh.blogspot.com/2013/04/makalah-ulumul-hadist-syarat-syarat.html
(13 April 2014)
[4] Mujiyo,
Ulum al-Hadist 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997) hal 3.
[5] Nawis
Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001) hal. 69.
[6] Nawis
Yuslem, Ulumul Hadits, hal. 69.
[7]
Endang Soetari, Ilmu Hadits; Kajian Diriwayah dan Dirayah, (Bandung:
Mimbar Pustaka, 2000) hal.140.
[8]
Mujiyo, Ulum al-Hadist 2, hal. 4.
No comments:
Post a Comment